Kamis, 07 Mei 2015

Falling in Love with Ghost part 8

Semalam aku bermimpi aneh. Aku memimpikan seorang pria yang wajahnya kelihatan seperti pancaran cahaya yang menyilaukan, tapi ia terlihat gagah dengan setelan jas putih yang melekat di tubuhnya. Ia mengatakan, "hanya kasih sayang yang tulus yang dapat mengubah keadaan." Apa maksudnya coba? Aku sama sekali tidak mengerti.

BRAK! "Aurel! Jangan melamun saja! coba jawab soal nomor 3 yang ada di papan tulis!" bentak guru fisikaku. Detik itu juga, aku langsung tersadar dari lamunanku dengan debaran jantung yang sangat kencang. 'Tamatlah riwayatku....' Kutukku dalam hati.

Tiba - tiba aku merasa ada sesuatu yang menubruk tubuhku, lalu aku melihat seseorang dengan penampilan persis sepertiku jalan ke depan kelas. Tunggu dulu. Orang itu bukan hanya mirip denganku, tapi itu memang aku!

Bagaimana bisa, ada 2 Aurel di tempat yang sama dalam waktu bersamaan!? Ini gila! "HEI!" teriakku dengan sangat kencang. Anehnya, tidak ada seorangpun yang menengok kearahku. Ini kenapa sih?

Kulihat guru fisika ku sedang memuji - muji diriku yang lain. "Hei! Siapa kamu! Seenaknya saja masuk ke tubuh orang lain! Pergi dari tubuhku!" teriakku dengan sebal.

Orang yang wajahnya mirip denganku, ralat. Ragaku menengok kearahku lalu mengedipkan sebelah matanya. Huh! Apa - apaan itu! Masa aku dikedipin sama diriku sendiri? Gila! Aku benar - benar sudah gila!

Saat ia kembali duduk di tempat yang sedang ku duduki, tiba - tiba saja aku merasa seperti kehabisan napas, lalu menghirup napas sebanyak - banyaknya. Apa... aku sudah kembali lagi? Kuedarkan pandangan ke seluruh kelas, dan ternyata aku tidak menemukan orang yang kulihat tadi. Apa aku bermimpi?

***

Sepulang dari sekolah, aku coba menyambangi Max yang sedang terbaring lemah di rumah sakit karena raganya tidak dapat kembali.
Ku ketuk pintu ruang rawat Max, "permisi," saat aku melangkah masuk kedalam, aku bisa melihat ibunya yang sedang duduk menemani Max. Penampilannya kali ini terlihat sedikit berantakan, bahkan wajahnyapun terlihat pucat. Apa dia baik - baik saja?

"Permisi tante," aku menghampiri wanita yang sejak tadi hanya duduk termenung sambil memegangi tangan putranya.

Wanita itu menengok kearahku sambil tersenyum, tapi senyumnya Nampak sangat lelah. Sepertinya ia benar - benar sudah diambang batas menunggui anaknya yang tak kunjung bangun dari komanya. Kalau seperti ini terus, mamanya Max bisa jatuh sakit juga.

"Tante, wajah tante terlihat sangat pucat. Apa tante kurang makan dan istirahat akhir - akhir ini?" tanyaku dengan khawatir. Jujur saja, sesombong - sombongnya aku, sejahat - jahatnya aku, aku tidak pernah tega melihat seorang ibu bersedih. Terutama ia bersedih karena anaknya. Itu benar - benar membuatku ikut merasakan kesedihannya.

"Aurel jangan mengkhawatirkan tante seperti itu. Tante baik - baik saja kok," lagi - lagi senyuman tulus itu terukir di bibirnya, tapi sayangnya, perasaan sedihnya yang mendalam itu juga terukir di bibirnya. Ugh... aku jadi ingin menangis.

"Tante, apa tante sudah makan? Kebetulan sebelum kesini, Aurel pergi ke toko roti langganan Aurel," aku mengeluarkan roti dari dalam tasku. "Tante makan ya?" ucapku dengan lembut sambil mengulurkan roti kearah mama Max.

"Untuk nak Aurel saja," mama Max mengembalikan rotinya padaku.

"Tapi wajah tante terlihat sangat pucat," ucapku dengan khawatir. Jujur, aku tidak tega melihat mama Max seperti ini, hal itu membuatku sedih.

Mama Max mengusap kepalaku dengan lembut, "tante tidak apa, sayang..." ia tersenyum lembut kepadaku. "Tante boleh minta tolong sebentar sama kamu?" tanya mama Max.

"Apa yang bisa saya bantu, tante?"

"Kamu jaga Max sebentar ya? Tante mau ke rumah sebentar untuk mengambil baju - baju Max."

"Tante istirahat saja di rumah, besok baru ke mari. Soal baju - bajunya kak Max, nanti supir Aurel saja yang akan membawakannya kemari. Kebetulan besok Aurel libur, jadi Aurel bisa menggantikan tante untuk menjaga kak Max disini," ucapku dengan tulus.

"Kamu yakin sayang? Tante tidak merepotkanmu kan? Tante takut membuatmu kerepotan dengan tugas sekolahmu, kalau kamu harus menjaga Max."

Ku berikan seulas senyuman, "tante tidak akan membuatku repot kok, lagi pula, aku yang ingin menjaga kak Max."

"Ya sudah, tante pulang dulu ya, sayang. Terima kasih," mama Max memelukku lalu mencium keningku sebelum pergi meninggalkan ruang rawat Max.

***

Malam ini, aku menginap di ruang inap Max. aku sudah menyuruh pak Didi untuk mengambil baju ganti di rumah Max yang sebenarnya sudah ku ketahui dari ruhnya, dan pak Didi juga membawakan bantal, beserta selimut dan baju ganti untukku.

"Ternyata, berada di rumah sakit pada malam hari itu lebih menyeramkan ya?" gumamku pada diri sendiri.

"Kalau kau takut, kenapa kau berada disini?" ucap Max yang tiba - tiba saja sudah berdiri di sebelahku.

"Ugh! Kau mengejutkanku saja," gerutuku.

"Pulanglah! Kau akan melihat banyak makhluk mengerikan bila terus berada disini," ucapnya dengan ketus. Dia kenapa sih? Dasar aneh.

"Kau kenapa sih?" tanya ku heran saat duduk di kursi yang disediakan di sebelah ranjang pasien.

"Kau tau, aku sudah menemukan penyebab ruh ku tidak mau masuk ke ragaku," Max memandang wajahku dengan tatapan yang tak dapat ku artikan.
Mendadak, aku merasa ketakutan dipandangi oleh Max seperti itu. Dengan susah payah, aku menelan air liurku untuk membasahi kerongkonganku yang mulai mongering, "a-apa penyebabnya?" tanyaku sedikit ketakutan.

"Kau," ucapannya barusan menimbulkan hawa dingin yang mencekam di ruangan ini. Ia meraih pergelangan tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri, "ikut aku!"

Seperti melewati dimensi ruang yang tak kasat mata, tiba - tiba saja aku sudah tiba di atap yang sepertinya merupakan atap rumah sakit tempat Max dirawat.
"U-untuk apa kita kemar?" tanyaku dengan ragu.

Tangan Max yang menggenggam tanganku semakin erat. Sekarang aku merasakan sakit di pergelangan tanganku akibat cengkramannya yang begitu erat. "Kenapa kau membawaku kemari?" tanyaku lagi.

"Untuk apa lagi? Tentu saja untuk membunuhmu."

Tiba - tiba saja tubuhku seperti terbawa angin hingga ke ujung atap. Sampai membuatku hampir jatuh bebas dari atap rumah sakit ini, tapi untungnya saja tangan Max masih memegangi tanganku, "Max! Apa yang mau kau lakukan!?" teriakku histeris.

Bukannya menjawab pertanyaanku, Max malah berkata hal yang membuatku harus berpikir keras untuk mengerti maksud dari pertanyaanya, "kau penyebabku tidak bisa kembali ke ruh ku. Kalau aku tidak bisa kembali, kau juga harus ikut bersamaku."

Seketika rasa takut langsung menguasaiku, "Max! kau gila ya!? Memangnya aku punya salah apa sih, terhadapmu!? Sampai - sampai aku juga harus mati!?" jeritku frustasi.

"Karena kau sudah merenggut semua duniaku. Duniaku, sudah berpindah kepadamu, duniaku, sudah berpusat kepadamu. Kalau aku tidak bisa kembali, maka kau harus ikut mati bersamaku," ucapnya dengan tatapan yang sangat dingin, terkesan mengerikan.

"Kalau begitu, KAU EGOIS MAX!" teriakku. Oke, sepertinya aku sudah menyerahkan sebagian nyawaku untuk mengatainya. "Kalau kau mencintaiku, seharusnya kau tidak menyakitiku! Seharusnya kau memikirkan kebahagiaanku, bukan hanya memikirkan bagaimana cara agar kau selalu bisa bersamaku. KAU EGOIS MAXIMILI ABRAHAM!" oke, aku memang bodoh. Seharusnya aku mengatakan hal - hal baik untuknya, atau setidaknya, seharusnya aku membujuknya agar aku tidak dijatuhkan dari atap.

Ia tersenyum miring ke arahku. "Aku, memang egois," Max langsung melepaska tanganku, menyebabkanku terjun bebas.

Falling in Love with Ghost part 7

Aku berjalan dengan cepat ke meja reseptsionis untuk menanyakan dimana Max dirawat. Setelah mengetahui keberadaan raganya, aku langsung berjalan dengan cepat menuju ruangan mawar 12 yang tergolong VVIP.

Saat tiba di depan ruangannya, aku melihat keadaan di daalam ruangannya melalui kaca yang ada di pintu. Di dalamnya ada seorang wanita yang pernah kulihat saat di mimpi, sepertinya dia ibunya.

“Cepat masuk!” perintah Max yang ada di belakangku.

“Di dalam ada ibumu,” jawabku dengan suara berbisik. Takut ketahuan orang lain.

“Memangnya kenapa? Cepatlah masuk!” Max makin mendesakku.

Ish! Dia itu bodoh atau bagaimana sih? Kalau aku masuk, aku harus jawab apa coba, kalau ibunya nanya aku ini siapanya? Kenal dimana? Argh… aku harus jawab apa nih?

Saat sedang melamun di depan pintu ruang rawat Max, tiba – tiba saja pintunya terbuka, menampakkan seorang wanita cantik yang berumur sekitar 40-an. “Kamu siapa?”

Mampus! Aku harus jawab apa nih…? “Emm… saya temannya kak Max bu. Maaf, saya baru sempat menjenguknya sekarang, soalnya selain sibuk, saya juga tidak tau dimana kakak dirawat,” aku menundukkan wajahku, pura – pura menyesal. Eh? Aku bisa juga ya, acting seperti ini? Wah, besok – besok aku harus ikut casting nih.

Ia melihatku dari atas sampai bawah. Hal itu membuatku canggung. “Tante tidak pernah melihat Max punya teman sebelumnya.”

“Kenapa Max tidak pernah mengenalkanmu pada tante ya?” sekarang mamanya Max tersenyum ramah kearahku. “Tante senang Max akhirnya punya teman. Terutama sepertimu. Oh ya, namamu siapa?” lanjutnya.

“Tante bisa panggil saya Aurel,” aku tersenyum manis sambil sedikit membungkuk kearah wanita cantik yang sedang berdiri di depanku.

“Mari Aurel,” mama Max mempersilahkanku untuk masuk ke ruang rawat anaknya.

Fiuh… selamat… mama Max tidak menanyakan hal yang macam – macam. Tapi kenapa mamanya Max bilang kalau ia tidak pernah melihat Max berteman dengan seseorang sebelumnya ya? Aneh. Pria setampan dia pasti mempunyai banyak teman, apa lagi pacar dan mantan yang pastinya sudah menggunung.

Ck! Aku kenapa sih? Masa hanya membayangkan Max dikelilingi oleh wanita bisa membuatku kesal? Ah, taulah.

***

Aku sudah melihat kondisinya. Ia kelihatan menyedihkan. Tubuhnya semakin kurus, wajahnya semakin pucat. Membuatku ingin menangis melihat keadaannya. Dan yang paling membuatku sedih, Max tidak bisa masuk ke raganya.

Ada apa ini? Padahal aku sudah mempertemukah ruhnya dengan raganya, tapi ruhnya tidak mau masuk ke raganya. Lebih tepatnya, ruhnya terpental saat masuk ke raganya. Sebenarnya apa maksud dari semua ini? Kenapa semuanya makin terasa rumit dan membingungkan?

Aku masih punya waktu beberapa hari untuk membuat Max kembali ke raganya. Aku tidak ingin ia menjadi hantu yang sesungguhnya. Sekarang aku merasa tidak keberatan bila ia menghantui hidupku, tapi yang membuatku keberatan adalah jika Max benar – benar menjadi hantu dan menghilang.

Mungkin alasannya tetap berada disini karena raganya. Ia ingin kembali ke raganya. Tapi jika raganya terlalu lama kosong seperti itu, bisa – bisa ia… menghilang.

Oke Aurel, tahan air matamu. Jangan biarkan air matamu menetes saat seseorang yang ingin kau tangisi berada tepat di sebelah ranjangmu.

Malam ini aku hanya bisa duduk di atas ranjangku sambil memikirkan tindakan yang akan aku lakukan. Walaupun sudah memikirkan berbagai macam cara untuk membuat Max kembali, aku tetap tidak menemukan secercah harapan. Semuanya terasa kacau. Sekacau mala mini.

Hujan dengan derasnya turun ke bumi dengan membawa suara petir dan guntur yang mengerikan. Berkali – kali aku menjerit saat suara mengerikan itu mulai menggelegar. Dan sialnya lagi, aku lupa menutup tirainya, jadilah aku bisa melihat cahaya petir itu yang suka muncul tiba – tiba ketika hujan.

“AAAA!!!” teriakku saat sebuah guntur menghantam dengan kerasnya dan membuat lampu di kamarku padam semua.

“WAAA!!!!! GELAP! GELAP!” teriakku mulai panic. Aku mulai gusar dan tidak bisa diam, karena aku memang paling takut dengan yang namanya mati lampu disaat hujan deras seperti ini. Ditambah lagi petir yang terus menyambar. Membuat rasa takutku makin meningkat.

Mendadak saja, hawa dikamarku menjadi aneh. Dan sekarang telingaku sudah menangkap suara – suara aneh. Kututup telingaku dengan kedua tanganku dan memejamkan mata, “pergi! Pergi kalian!” usirku kepada entah apa itu yang menimbulkan hawa aneh di kamarku. Aku merasa ia memiliki aura yang jahat.

“Pergi! Pergi! Pergi!” aku mulai menagis ketakutan.

Mendadak seluruh tubuhku merasakan hawa dingin yang begitu menusuk. “pergi! Pergi! Pergi!” teriakku berusaha mengusir hawa dingin yang membuatku semakin takut.

“Shh… tenanglah Aurel, ini aku,” bisik suara lembut yang terdengar familiar itu.

Kuberanikan diri untuk membuka mataku. Ternyata itu Max, ia sedang memeluk tubuhku yang sedang gemetar karena ketakutan.

“Jangan takut, ada aku disini,” ia membelai lembut rambutku. “Tidurlah,” perintahnya dengan suara lembut.

Aku takut jika saat aku tertidur, Max sudah pergi meninggalkan ku seorang diri, dan jika tiba – tiba saja makhluk mengerikan itu datang lagi?? AKU TIDAK MAU TIDUR!

“Jangan berpikir yang tidak – tidak. Aku akan menemanimu selama kamu tidur,” ia menatapku dengan tatapan mata yang teduh. Mata hitamnya bisa memudarkan rasa takutku yang hebat. “Jika kamu tidak keberatan, aku akan memelukmu selama kamu tidur. Tidurlah!”

Kali ini aku tidak menolak perintahnya. Kurebahkan tubuhku di kasur, mencari posisi nyaman dengan bantalku. Max juga ikut tidur di sebelahku sambil memeluk tubuhku. Dibalik selimutku, ia membelai punggungku, membuat tubuhku menjadi rileks. Hawa dingin darinya membuatku mengantuk. Apalagi sentuhan tangannya di punggungku, membuatku semakin mengantuk.

“Selamat tidur, Max,” ucapku sambil memejamkan mata.

“Selamat tidur,” ia mengecup keningku, meninggalkan hawa dingin di keningku yang membuat perutku sedikit geli. Seperti ada kupu – kupu yang berterbangan di dalam perutku.

Aduh, sepertinya aku jadi tidak bisa tidur karena perlakuan Max barusan.

Falling in Love with Ghost part 6

Ini adalah hari pertama aku masuk sekolah lagi setelah kejadian memalukan di pesta itu dan berakhir dengan tragedi masuk rumah sakit, lalu dibuntuti oleh hantu ngeselin ini.

Dari pertama aku turun dari mobil, sampai berjalan masuk ke sekolah, semua murid memandangku dengan tatapan kasihan dan meremehkan. Uh! Aku benci sekolah ini! Jika seorang bintang sudah tidak memancarkan sinarnya dengan terang, mereka semua akan pergi meninggalkanmu. Dasar penjilat! Belum lagi teman – temanku yang mendadak menjauh dariku.

“Semua orang sama, penjilat,” ucap Max dengan dinginnya saat kami sedang berjalan menuju kelasku.

“Berisik!” bisikku dengan menunjukkan wajah sebal. Yah, walaupun ku akui, kalau ucapannya benar

“Tapi pada kenyataannya, mereka meninggalkanmu,” ucap Max tanpa ekspresi.

Ish! Kenapa hantu ini selalu mengikuti kemanapun aku pergi sih? Udah ngikutin kemana – mana, kalau ngomong bisanya bikin sakit hati doang. Uh!

***

Karena aku sedang dalam tahap pengasingan, jadilah aku berakhir di meja kantin saat sedang istirahat seorang diri dengan sepiring nasi goreng. Karena merasa tidak bersemagat, aku jadi mengaduk – ngaduk saja nasi gorengku dengan malas.

“Eh, nanti mau ikut aku nengok si pangeran sekolah?” ucap seorang kakak kelas yang baru saja lewat.

Ha? Pangeran sekolah? Memang ada ya? Kok aku baru denger? Ucaku dalam hati.

Kedua perempuan yang usianya hanya terpaut dua tahun dariku itu mengambil tempat untuk makan di meja sebelahku. “Tapi aku jadi kasihan loh sama dia, masa sudah setahun lebih, dia belum siuman sampai sekarang?” ucap salah seorang dari mereka.

“Iya, ya, kasihan juga. Apa lagi mamanya jadi sering sakit juga karena anaknya gak sadar – sadar juga,” ucap perempuan yang satu lagi.

Kok aku jadi menguping pembicaraan mereka sih? Aneh, tapi aku sedikit tertarik dengan pembicaraan mereka. Pangeran sekolah? Siapa dia? Seingatku, orang tertampan dan selalu dipuja – puja oleh semua siswi SMA Platinum adalah Dave. Mantan pacarku yang amat sangat kurang ajar. Berani – beraninya dia menduakanku dengan wanita yang bahkan tidak sebanding denganku. Dasar pria bodoh!

Karena penasaran, aku jadi menghampiri mereka, “permisi kak, boleh gabung gak kak?” tanyaku sambil memegang nampan yang diatasnya ada sepiring nasi goreng.

“Oh, tentu boleh Aurel, siapa sih yang nolak kalau bisa makan semeja denganmu,” ucap salah satu dari mereka.

Aku mengangguk sambil tersenyum manis, “makasih ya kak,” aku langsung mengambil tempat kosong yang ada di sebelah wanita berambut pendek.

“Perkenalkan, namaku Sisi,” ucap perempuan berambut pendek.

“Namaku Kiki,” ucap perempuan berambut panjang yang duduk di sebrangku.

“Salam kenal kakak – kakak yang cantik,” kataku sambil tersenyum manis. “Aku tidak usah memperkenalkan namaku lagi kan? Sepertinya kalian sudah mengenalku,” candaku.

“Tentu saja, siapa sih yang gak kenal sama Aurelia Utami, model utama majalah – majalah remaja. Aku sedikit tersanjung loh, kamu mau duduk bareng sama kita,” ucap kak Kiki.

“Ah, kakak berlebihan,” ucapku sedikit tersipu karena pujiannya. Bukannya aku tidak pernah mendengar pujian sebelumnya, tapi aku bisa merasakan kalau pujian yang keluar dari mulut mereka itu sangat tulus, seperti sahabatku, Anna.

Ah… aku mendadak merindukan Anna. Dialah yang kelihatan paling tulus berteman denganku, tapi aku bingung. Kalau dia tau Sinta diam – diam pacaran dengan Dave, kenapa dia tidak pernah cerita padaku? Yah… walaupun aku tahu kalau Anna bukanlah tipe wanita yang mau menceritakan segala kejadian yang dia alami. Dia orang yang cukup pendiam, tapi aku tau kalau Anna bukanlah orang licik yang mau melukai hati sahabatnya sendiri.

“Emm… Aurel, kamu baik – baik saja?” tanya kak Sisi yang membuyarkan lamunanku.

“Eh, oh, kenapa kak?” tanyaku yang sedikit kaget.

“Kamu kenapa Aurel? Apa kamu sakit?” tanya kak Sisi lagi.

“Aku baik – baik saja kok kak, hanya saja…” aku sedikit menggantungkan kalimatku untuk melihat reaksi penasaran mereka.

“Ada apa Aurel apa ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” tanya kak Kiki sedikit penasaran.

“Aku… boleh tanya sesuatu?”

“Tanyakan saja,” kata kak Kiki.

“Aku tadi tidak sengaja mendengar ucapan kalian soal pangeran sekolah. Kalau boleh tau, siapa yang kalian maksud dengan pangeran sekolah?” tanyaku dengan suara pelan, ragu kalau mereka mau menjawab pertanyaanku. Karena aku tadi menyatakan secara terang – terangan kalau aku menguping pembicaraan mereka.

“Loh, kamu gak tau soal pangeran sekolah ini?” tanya kak Kiki sedikit terkejut.

Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku karena aku memang tidak mengetahui apapun soal pangeran sekolah yang mereka maksud.

“Bodoh kamu Ki, si pangeran itukan mengalami kecelakaan sebelum tahun ajaran baru,” ucap kak Sisi, “kalau gak salah sih, kejadiannya juga saat kita kelas XI semester pertama, si pangeran itu mengalami kecelakaan tragis.”

“Kecelakaan tragis? Kecelakaan tragis bagaimana?” tanyaku yang mulai tertarik dengan pembicaraan ini.

“Iya, kecelakaan tragis. Kalau gak salah, di halte dekat sekolah dia mengalami kecelakaan yang membuatnya harus dilarikan kerumah sakit karena mengalami luka – luka yang sangat parah,” ucap kak Sisi.

“Kalau dari rumor yang beredar, saat itu, pangeran sedang mencoba menyelamatkan anak kecil yang hampir tertabrak oleh mobil, tapi karena jarak mobil dan anak tersebut sangatlah tipis, akhirnya pangeran tidak bisa menghindari tabrakan mobil tersebut, dia bersama anak kecil itu tertabrak mobil, tapi pangeran yang baik hati tetap berusaha melindungi anak kecil itu dengan cara memeluknya dengan erat dan menjauhkan tubuh anak kecil itu dari tabrakan mobil secara langsung,” ucap kak Kiki panjang lebar.

Aku mengangguk. mataku menangkap ekspresi sedih Max yang sedang duduk di kursi yang ada di sebelah kak Kiki. Kok, tumben ekspresiya kelihatan sedih begini sih? Biasanya wajahnya kelihatan sedingin es, tapi kali ini kenapa wajah dingin itu kelihatan bersedih ya? Walaupun ia tidak menampakkan kesedihannya, tapi aku bisa melihat kesedihannya yang terpancar dari mata hitam milik Max.

Apa Max tersentuh mendengar cerita tentang pangeran sekolah yang merelakan dirinya ditabrak mobil demi menyelamatkan anak yang tak dikenalnya? Bisa jadi sih, tapi masa hantu bisa merasa tersentuh seperti itu sih? Padahal dia kan hantu, memangnya, perasaannya masih bisa berfungsi ya?

“Terus, anak kecil itu gimana kak?” tanyaku penasaran.

“Anak kecil itu selamat, walaupun badannya mengalami lecet – lecet, tapi luka yang dialami anak tersebut tak separah yang dialami oleh pangeran. Akibat tabrakan yang sangat kencang itu, tulang kaki kanan dan bahu kanannya patah, dia juga mengalami gagar otak. Padahal, pangeran adalah bintang pebasket di sekolah kita, dan salah satu anak jenius yang berhasil memenangkan olimpiade sains di Amerika.” Ucap kak Kiki dengan raut wajahnya yang mulai kelihatan bersedih. Apa kak Kiki suka sama si pangeran itu ya?

“Ngomong – ngomong… nama pangeran itu siapa sih kak?” kataku lalu meminum air mineral botolku.

”Namanya adalah Maximili Abraham,” ucap kak Sisi.

“Uhuk! Uhuk! Uhuk!” aku tersedak minumanku sendiri karena mendengar pernyataan yang keluar dari mulut kak Sisi. What!? Maximili Abraham!? Ku alihkan pandanganku pada Max, ternyata dia juga sedang memandangiku dengan tatapan yang tidak bisa kuartikan.

***

Kepalaku masih terasa pusing memikirkan kenyataan bahwa Max adalah pangeran sekolah yang katanya terkenal dengan kebaikannya. Aku masih merasa kalau semua ini tidak masuk akal. Bagaimana bisa Max mengalami kecelakaan untuk menolong anak kecil yang ingin tertabrak? Melihat perilaku dingin dan menyebalkannya membuatku tak percaya ia memiliki hati sebaik itu. Dan kenapa hanya aku yang bisa melihatnya? Ini semakin tidak masuk akal.

Sepanjang perjalanan menuju rumah, aku hanya melamun memikirkan perkataan kak Sisi yang mengatakan kalau Max dirawat di rumah sakit Rossaline. Aku mengangkat wajahku yang sejak tadi hanya tertunduk lesu, “pak, kita ke rumah sakit Rossaline ya?” perintahku pada supir pribadiku.

“Kenapa non? Apa non mau menemui dokter Bara?” tanya pak Didi, supir pribadiku.

“Ah, tidak pak, aku… eh, maksudku iya, aku mau konsul sama dokter Bara. Sekalian kangen – kangenan sama dokter ganteng kesayanganku pak, hehehe,” aku berusaha tersenyum, tapi kesannya malah dipaksakan.

“Apa non baik – baik saja? Apa kepala non masih terasa sakit?” ucap pak Didi yang mulai terlihat khawatir.

“Enggak sih pak, cuman mau nge-cek aja.”

“Baik non,” pak Didi langsung berbelok kearah kanan setelah lampu merah yang ada di depan berganti menjadi hijau.

Kulirik makhluk tak kasat mata yang ada di sebelahku. Ku lihat ia sedang menatap seorang anak yang berdiri di sebelah lampu merah.

“Max?” panggilku untuk memastikan kalau keadaannya baik – baik saja.

Yang dipanggil masih diam saja. Sekrang ia hanya menatap kosong ke luar jendela.

“Max, apa kau baik – baik saja?” tanyaku yang mulai khawatir.

Max akhirnya mengalihkan pandangannya padaku. Mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi terdului oleh suara pak Didi.

“Non? Non lagi ngomong sama siapa?” tanya pak Didi bingung melihatku seperti berbicara dengan seseorang, tapi tidak melihat siapapun di sebelahku.

Waduh, aku harus jawab apa nih ke pak Didi? Masa aku bilang kalau aku lagi ngobrol sama hantu? Bisa – bisa dia histeris.

“Wah… jangan – jangan, non Aurel lagi kangen ya, sama pacar barunya?” goda pak Didi.

Aku hanya tersenyum mendengar godaannya. Ya biarin deh dia beranggapan seperti itu, dari pada dia beranggapan yang enggak – enggak.

“Aurel,” panggil Max yang sedang duduk di sebelahku.

Aku hanya memandangnya tanpa mengatakan sepatah katapun. Jaga – jaga kalau pak Didi mulai berpikir aku gila kalau dia melihatku berbicara seorang diri lagi.

“Aku… aku merasa takut,” ucapnya dengan suara yang pelan, tapi masih dapat ku dengar. Wajahnya tertunduk lesu.

Aku memegang tangan dinginnya, sekarang ia memandangku dengan tatapan kosong yang membuatku merasa kasihan melihatnya. Dia yang biasanya menatapku dengan tatapan dingin atau marah, kini ia menatapku dengan tatapan kosong yang bisa membuatku bersedih.

Kugenggam tangan dinginnya, mencoba memberikan semangat lewat genggaman tanganku, walaupun aku tidak mengucapkan sepatah katapun untuknya. ‘semuanya akan baik – baik saja Max, semua akan baik – baik saja, tenanglah,’ ucapku dalam hati sambil terus menatap mata hitam miliknya.

Ia mengangguk, lalu ia menyenderkan kepalanya dibahuku. Hawa dingin semakin terasa di sekujur tubuhku saat ia bersandar dibahuku.

Sebenarnya aku tidak tahan dengan hawa dinginnya, tapi daripada dia kehilangan semangat seperti itu, lebih baik aku diamkan sajalah. Daripada nanti dia patah semangat, terus gak bisa lagi balik ke raganya, dan kemudian dia akan menghatuiku selamanya, lebih baik aku merasakan hawa dingin ini daripada hal buruk itu menimpaku.

Tapi entah mengapa, aku mulai sedikit nyaman dengan hawa dingin dari Max. sekarang, semuanya terasa mulai nyaman saat aku mencium aroma rerumputan yang terhirup dari badan Max. wanginya segar dan menenangkan

Falling in Love with Ghost part 5

Sudah dua minggu aku dirawat di rumah sakit ini, dan kau tau hebatnya apa? Tidak ada yang menengok keadaanku sama sekali! Ya memang, aku menyuruh semua orang yang bekerja di rumah ku tidak boleh memberitahu dimana keberadaanku sekarang. Yah… walaupun gak ada siapapun yang menengok keadaanku, kecuali bik Rusti, pembantuku yang sudah bekerja selama lima belas tahun di rumahku beserta suaminya, pak Mamat, tukang kebun rumahku.

Dan hebatnya lagi, setiap bik Rusti dan pak Mamat menjengukku, mereka tidak pernah bilang kalau orang tua ku menanyakan kabarku. Bahkan kalau ditanya, apa kedua orang tuaku menelphone ke rumah atau tidak? Mereka langsung diam. Hah… begitulah kedua orang tuaku. Terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka, sampai – sampai mereka lupa dengan anak satu – satunya yang mereka miliki. Coba kalau saat kecelakaaan itu aku mati, dijamin mereka akan kelabakan untuk mencari pewaris baru mereka, karena pewaris tunggal kekayaan mereka telah tiada. Hmmm…. Sepertinya itu ide yang bagus. Apa aku mati saja ya?

Entah mengapa, setiap memikirkan kata ‘mati’, si Max pasti langsung muncul atau secara tiba – tiba berdiri di dekatku. Bikin orang kaget saja. Coba kalau disini gak ada bik Rusti dan pak Mamat, aku pasti langsung mengomeli setan sialan itu, karena berani – beraninya dia mengagetiku seperti itu.

“Non, barang – barangnya sudah beres semua,” kata bik Rusti.

“Oh, iya bik, ayo pulang,” ujarku sedikit terkaget.

“Sini non, pak Mamat bantu,” pak Mamat mengulurkan tangannya untuk membantuku turun dari ranjang.

“Makasih pak, saya sudah gak papa kok,” tolakku halus, lalu mulai melangkah keluar ruangan

Padahal ini sudah tidak di rumah sakit, tapi kenapa si Max selalu mengikutiku sih? Tau gak, ini tuh bikin aku stress tingkat dewa! Semenjak Max sering muncul dihadapanku, aku jadi sering lihat hantu dimana – mana! Dan ngeselinnya lagi, semua hantu itu rupanya nyeremin semua! Gak ada yang ganteng! Satu – satunya setan yang ganteng ya cuman si Max doang. Arrggghhhh….. kenapa harus aku sih, yang diikutin sama Max? gak bisa apa, dia milih orang lain buat dia ikutin?

Sadar gak sih Max… semua gara – gara kamu yang menempel di aku, jadinya aku bisa melihat hantu yang suka seliweran kesana kemari! Awas kalau sampai aku ketemu ragamu, aku cekik biar kamu jadi hantu beneran.

Sesampainya di rumah, aku kaget melihat halaman rumahku yang mendadak kedatangan sekumpulan anak kecil yang bermain disana, “loh bik, bibi kok gak bilang – bilang kalau bibi ngajak keponakan – keponakan bibi kesini?” tanyaku heran.

“Keponakan? Keponakan yang mana non?” tanya bibi terdengar heran.

“Itu, yang lagi main – main di halaman. Itu keponakan bibi semua kan?” tanyaku sambil menunjuk kearah halaman.

“Yang mana non? Disana mah, gak ada apa – apa non,” ucap bibi yang membuatku syok berat.

Astaga! Kejadian lagi kan. Itu pasti hantu.

Saat aku tiba di dalam rumah, aku merasakan suasana di rumahku yang biasanya tenang menjadi sedikit horror. Entah apa alasannya, yang jelas, aku benar – banar merasa merinding! Hwaa!! Max!!!! tanggung jawab!!! Gara – gara kamu, aku jadi melihat apa yang seharusnya gak aku lihat!!!

Sesampainya di kamar, aku langung merebahkan badanku di atas kasur king size milikku. Setelah bibi selesai membereskan baju – baju ku, ia pamit keluar untuk menyiapkan makan malam untukku.

“Max?” panggilku dengan suara sedikit berbisik, takut ada orang lain yang mendengarnya.

Tiba – tiba saja ia sudah berdiri di sebelah ranjang ku.

Langsung saja, aku ungkapkan kemarahanku padanya, “tau gak! Gara – gara kamu nempelin aku, aku jadi bisa ngeliat hantu! Tanggung jawab kamu!” teriakku.

Max hanya diam saja.

“Max! jawab! Jangan diem aja dong! Ini semua kan gara – gara kamu!”

“Dua minggu lagi,” ucap Max nyaris terdengar seperti sebuah bisikan.

“Maksudmu?” tanyaku dengan suara pelan.

“Kalau aku tidak kembali ke ragaku, aku akan mati,” ucapnya dengan wajah datar. Ia menengok kearahku, “dan jika itu terjadi, aku akan menghantuimu seumur hidupmu,” ia memandangku dengan tatapan tajamnya yang mampu membunuhku.

Glek! Tamatlah riwayatku, jika aku tidak segera menemukan raganya. Seminggu lebih bisa melihat hantu saja sudah bisa bikin aku stress, gimana kalo selamanya!? Belum lagi dapat gangguan dari Max si hantu nyebelin ini.

“Kalau kau tidak mau aku hantui seumur hidupmu, cepat temukan ragaku,” ucapnya penuh penekanan disetiap kalimatnya.

Deg! Ya tuhan… kenapa engkau memberikan cobaan sesulit ini kepada hambamu yang tak berdosa ini…? “Baiklah, sepulang sekolah aku akan ke rumah sakit untuk bertanya ke rumah sakit mana kamu dipindahkan?”

***

Aku terbangun saat tengah malam dengan keringat dingin yang sudah membasahi tubuhku. Ah… mimpi buruk lagi. Aku segera turun dari ranjangku, aku tidak bisa tidur tenang akhir – akhir ini karena para hantu terus saja menghampiriku.

Ketika aku sedang berjalan menuju kamar mandi yang ada di dalam kamarku, keningku berkerut saat melihat ada sebuah bayangan di dalam kamar mandi tersebut. “Siapa kau?” tanyaku sambil mencoba menajamkan penglihatanku, karena lampu kamar mandi yang tidak menyala.

Sekelebat bayangan langsung keluar dari kamar mandi dengan gerakan yang sangat cepat, “siapa kau!?” teriakku yang mulai ketakutan. Ku edarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tapi tak menemukan sesuatu yang ganjil menurutku. Ruangan kamar yang gelap pun menambah rasa takutku yang mulai tak terkendali.

A-apa tadi? Apa yang barusan aku lihat? Bayangan apa tadi!? Oh tuhan… kenapa hidupku jadi serumit ini?

“AAAAAA!!!!!!!!!” teriakku ketakutan saat bayangan itu tiba – tiba muncul dihadapanku. Ia bukan bayangan, melainkan makhluk mengerikan berbadan hitam yang mengenakan pakaian serba hitam, memiliki rambut yang acak – acakan, mata merah yang mengerikan, dan taring yang amat sangat mengerikan. Di sudut bibirnya pun terlihat bekas darah. Seakan – akan ia habis menghisap darah manusia.

Aku berjalan mundur menghindarinya, tapi ia tetap berjalan mendekatiku yang sudah tidak bisa berpikir lagi apa yang harus ku lakukan? Aku sangat ketakutan, sampai – sampai kakiku terasa lemas dan tak sanggup lagi menopang tubuhku dan akhirnya aku jatuh terduduk. Makhluk itu tetap saja berjalan menghampiriku. Saat jarakku dan makhluk itu hanya tersisa dua langkah, tiba – tiba ada bayangan putih yang menerjangnya, dan membuat makhluk mengerikan itu menghilang.

Hah… hah… apa itu? Apa yang barusan terjadi? A-apa yang menyerang makhluk mengerikan itu?

Tiba – tiba aku merasakan ada sebuah tangan dingin yang menyentuh bahuku, “AAAA!!!” teriakku terkejut karena ada yang memegang bahuku.

“Tenang, ini aku,” ucap sebuah suara yang akhir – akhir ini taka sing di telingaku. Max. “Kau baik – baik saja?” tanyanya.

“Bagaimana aku bisa baik – baik saja!? Kalau makhluk mengerikan itu-“ ucapanku terputus karena Max tiba – tiba memeluk tubuhku. Walaupun aku memakai baju tidur berlengan panjang, tapi tetap saja, aku bisa merasakan hawa dingin di sekujur tubuhnya yang entah mengapa bisa membuat ketakutanku sedikit berkurang.

Ia melepaskan pelukannya, “sudah lebih baik?” tanya Max.

Aku hanya sanggup mengangguk, karena masih terlalu shock melihat makhluk mengerikan barusan. Sebenarnya makhluk apa tadi yang aku lihat?

“Kembalilah tidur, besok kau harus sekolah,” perintahnya.

“Ta-tapi kalau…”

“Aku akan disini, tidurlah,” ia kembali memerintahku, kali ini dengan suara yang tegas. Mau tidak mau, aku menuruti perintahnya.

Aku kembali berbaring di tempat tidur king size ku dan Max berdiri di sebelah tempat tidurku dengan wajah dinginnya yang selalu setia menemaninya kemana – mana.

“Tidak usah memandangku seperti itu, cepatlah tidur,” kata Max tanpa memandang kearahku.

“Siapa juga yang memandangimu,” ucapku langsung memejamkan mata.

Falling in Love with Ghost part 4

“Aku, masih hidup. Hanya saja, aku terpisah oleh ragaku,” ia menatap mataku dengan tatapan yang serius. “Kau, harus membantuku untuk kembali ke ragaku. Bagaimanapun caranya.”

“Bagaimana kalau aku tidak mau atau tidak sanggup melakukannya?”

“Dengan senang hati aku akan mengusik hidupmu sampai aku kembali ke ragaku,” ia mengeluarkan senyuman liciknya yang entah mengapa terlihat tampan. “Kau dengar, nona?” ucapnya menyadarkanku kembali ke dunia nyata.

Aku mengangguk mengiyakan. “Tapi bagaimana caraku untuk mengetahui dimana ragamu? Aku saja tidak tau siapa namamu,” ujarku.

“Maximili Abraham, orang – orang biasanya memanggilku Max,” kata makhluk astral yang tampan itu.

“Baiklah Max, harus darimana aku mencari informasi mengenai keberadaan ragamu itu?” tanyaku dengan nada jengkel. Bisa – bisanya hantu ini mengancamku. Memangnya, apa yang bisa ia lakukan? Ia kan hanya hantu. Makhluk yang tak kasat mata yang bisa saja diabaikan dengan mudah.

“Ternyata aku meminta pertolongan terhadap orang yang salah ya? Ku kira kau pintar,” setelah berkata seperti itu, Max mendadak menghilang tanpa jejak.

“Hey! Hantu sialan! Apa maksud perkataanmu, hah!? Kamu pikir aku bodoh, hah!? Kembali kau!” teriakku seperti orang gila. Max sialan. Setelah meledekku, ia pergi begitu saja, seperti hantu saja. Eh, Max kan memang hantu? Aduh, sepertinya dalam jangka waktu dekat, aku akan menghuni RSJ karena hantu sialan itu.

Ah, yasudahlah, lebih baik aku tidur saja. Lagi pula ini sudah jam 1 lebih. Hoam… dan sepertinya ngantukku juga mulai datang. Akupun naik ke atas ranjang dan mulai menyelimuti diri dengan selimut seadanya dari rumah sakit. Huh, disaat – saat seperti ini, aku rindu dengan kedua orang tua ku. Kira – kira mereka tau gak ya… kalau aku sedang sakit?

Akupun mulai menutup mata dan memasuki alam mimpi.

***

Ahh… cahaya putih apa itu? Kenapa terang sekali? Loh… kenapa aku jadi di depan pintu ruanganku? Ya sudahlah, aku masuk saja.

Aku meraih gagang pintu. Loh… kok? Loh… kenapa tanganku tembus ke pintu sih? Wah, wah, ada yang gak beres nih. Masa aku bisa nembus tebok sih? Ku coba untuk meraih gagang pintu itu, tapi kenapa tanganku malah menembusnya? Ini gila! Masa aku sudah mati!? Baiklah, kalau aku tidak bisa membuka pintunya, lebih baik kutembus saja pintunya.

Setelah menembus pintu itu, terlihatlah ruanganku yang agak berbeda. Vas bunga yang biasanya kosong, kini terisi penuh oleh mawar hijau? Aku baru tau kalau ada mawar hijau, dan sejak kapan ada mawar hijau di ruanganku?

Ku toleh kearah ranjang, dan ternyata aku menemukan seseorang yang sedang berbaring di atas ranjangku. Ia terlihat mengenaskan dengan semua alat bantu yang menempel di tubuhnya. Ahh… aku jadi kasian dengan orang itu. Tapi… sepertinya wajahnya tak asing lagi buatku.

Kulangkahkan kakiku mendekati ranjang tersebut, dan ternyata benar. Orang yang berbaring di atas ranjang itu memang sudah taka sing lagi buatku, karena sudah beberapa kali aku menemuinya. Max. ya, pria yang sedang berbaring di ranjang itu adalah Max. Keadaannya lebih menyedihkan daripada menjadi arwah. Ya ampun Max… aku jadi prihatin melihatmu seperti itu.

Tiba – tiba seorang dokter dan seorang wanita yang sepertinya ibunya masuk kedalam ruangan.

“Dok, bagaimana perkembangan anak saya? Kapan ia bisa siuman?” ucap wanita tua itu dengan raut wajah yang khawatir.

Aku jadi ikut sedih melihat kekhawatiran wanita itu. Seandainya ibuku juga mengkhawatirkanku saat aku sakit.

“Maaf bu, sepertinya saya sudah tidak bisa menangani penyakit anak ibu. Selain itu, alat – alat di rumah sakit ini kurang memadai, dan saya bisa menyarankan ibu untuk memindahkan anak ibu ke rumah sakit yang fasilitasnya lebih lengkap dan saya juga mengenal seorang dokter yang bisa menyembuhkan anak ibu,” ucap dokter itu panjang lebar.

“Biklah dokter, tolong anak saya. Apapun akan saya lakukan untuk kesembuhan anak saya,” ujar wanita itu.

“Baiklah, ibu tolong ke ruang administrasi untuk memindahkan anak ibu ke rumah sakit Ross…”

“Ross… ah? Aku dimana?” kutengok ke daerah sekitarku. Oh, inikan ruanganku. Berarti… yang itu tadi mimpi ya? Rumah sakit Ross? Memangnya ada ya, rumah sakit Ross?

Falling in Love with Ghost part 3

Aku tau, ini sudah lewat dari tengah malam, tapi walaupun aku sudah mencoba untuk memejamkan mataku, aku tetap saja tidak bisa tidur. Akhirnya aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidurku dan berjalan – jalan keluar sebentar.

Memang susah untuk bangun dengan kepala sakit seperti ini, apa lagi sekarang aku mulai berkhayal di diangan yang gelap ini ada orang yang sedang duduk di sofa yang ada di ruanganku. Apa mungkin itu ayah ya? Ah, mana mungkin. Ayah kan masih di Australia mengurusi bisnisnya yang ada disana bersama ibu. Lalu, kalau bukan mereka, siapa orang itu?

“Akhirnya kau bangun juga dari kepura – puraanmu,” bayangan hitam itu berdiri dan melangkah mendekatiku.

Karena panik, aku segera berdiri dan mencari saklar lampu. Saat lampu menyala, aku bisa melihat pria tampan yang aku lihat tadi siang. “Kamu? Ngapain disini?”

Tak ada respon darinya. “Hei! Kau mendengarkukan? Kau sedang apa disini? Memangnya pasien disini bisa keluar masuk seenaknya?” kataku sebal.

“Kamu harus membantuku,” ucapnya dengan suara pelan yang masih dapat kudengar.

“Heh!? Membantumu? Untuk apa?” tanyaku heran. “Aku tidak mau, lagi pula aku tidak mengenalmu,” kataku judes.

“Kau, harus, membantuku,” ucapnya penuh penekanan.

“Aku bilang, aku tidak mau!”

“Kau harus membantuku, kalau tidak…”

“Kalau tidak apa!?”

“Aku akan membunuhmu,” ia mencengkram kedua lenganku.

Aw! Tangannya terasa dingin, walaupun tidak menyentuh kulitku secara langsung, tapi aku bisa merasakan dinginnya tangan milik pria ini. Apa yang akan dilakukannya? Dia mencengkram tanganku dengan sangat kuat! Sampai – sampai aku merasa tidak bisa menggerakkan kaki serta tanganku! Bahkan bibirkupun terasa keluh, tak bisa mengucapkan sepatah katapun.

“Aku, serius dengan ucapanku,” ucapnya dengan tegas. “Kau, harus membantuku!” ia menatapku dengan sorot mata yang amat tajam.

Karena tak bisa mengucapkan sepatah katapun, aku hanya sanggup mengangguk.

Ia pun melepaskan cengkramannya yang membuat kedua lenganku terasa sakit dan mulai mengambil jarak diantara aku dan dia. Aduh… sepertinya lenganku memar, keluhku.

Setelah merasa ia tidak akan berbuat hal macam – macam kepadaku, aku berteriak sekencang mungkin, “TOLOOOONNGGG!!!!!!!!!!! DOKTER! SUSTER! TOLOONNGG!!!!!!”

Saat aku sibuk berteriak, samar – samar aku mendengarnya berkata, “… bodoh, percuma … tidak akan …”

Tak berapa lama, aku mendengar suara langkah kaki yang tergesah – gesah terdengar semakin kencang. Brak! Suara pintu dibanting. Dokter dan suster yang memang sedang bertugas malam itu datang memasuki ruanganku dengan wajah paniknya. “Ada apa?” tanya dokter terlihat panic.

“Orang itu dok…” aku menunjuk kearah pria yang sekarang berdiri disebelah sofa. “Dia… dia ingin mencelakaiku, dok,” ucapku sambil terus menunjuk kearah pria itu.


Dokter dan suster terlihat kebingungan melihatku. “Maaf mbak Aurel, disini tidak ada siapa – siapa, kecuali hanya kita bertiga,” ucap sang suster.

“Suster apa – apaan sih!? Jelas – jelas orangnya tuh ada disitu! Disebelah sofa!” aku terus menerus menunjuk ke pria yang sedang tersenyum melecehkanku.

“Mungkin nona ini mengalami mimpi buruk, dan mungkin ini juga efek samping dari obat penenang yang tadi diberikan,” jelas sang dokter. Dokter pria itu pun meraih lenganku dan menuntunku kembali keranjang, “sebaiknya nona banyak – banyak istirahat.”

Aku hanya mengangguk sambil meringis kesakitan karena dokter itu memegang lenganku yang masih sakit.

Ia membantuku untuk berbaring dan menarikkan selimut untukku, “istirahat yang cukup ya nona Aurel, mungkin yang tadi hanya khayalanmu saja karena efek dari obat bius,” ucap sang dokter pria yang masih muda itu. Setelah berkata seperti itu, dokter dan suster itu pergi meninggalkanku.

“Sudah ku bilang, percuma,” pria tersenyum licik sambil melangkah mendekati ranjangku.

Aku sangat ketakutan melihat matanya yang tajam itu, seolah – olah ia bisa mengintimudasiku atau membunuhku hanya dari tatapan matanya. Perlahan – lahan aku menarik selimutku hingga separuh wajahku tertutup, saat ingin menutup mataku dengan selimut itu, tangannya menarik selimutku hingga terjatuh ke lantai.

“Se-sebenarnya, siapa kau?” tanyaku setelah berhasil mengumpulkan keberanianku.

Ia hanya diam sambil menatapku tajam. “Kenapa mereka tidak bisa melihatmu?”

“Bodoh. Terserah kau mau memanggilku apa. Intinya, dulu aku yang menempati ruangan ini.”

“Apa… kau… adalah hantu?” tebakku ragu – ragu.

“Mungkin.”

“Berarti kau… sudah mati?” tanyaku masih penuh keraguan dan ketakutan.

Falling in Love with Ghost part 2

            Malam Minggu biasanya dihabiskan dengan jalan-jalan bersama kekasih, tapi untuk malam ini aku melewatinya hanya seorang diri, tanpa seorang kekasih. Memang malang nasibku, tapi mau bagaimana lagi? Pacarku sedang sibuk, dan aku tidak bisa menuntutnya untuk berbuat ini itu terlalu banyak.

            Sampailah aku di pesta ulang tahun teman ku, “Aurel!” panggil Agnes saat aku baru memasuki halaman belakang rumahnya yang luas. Aku langsung melambaikan tangan kearahnya, lalu berjalan secepat mungkin menuju tempatnya berdiri.

            “Agnes, selamat ulang tahun ya?” aku menjabat tangannya lalu memeluk tubuh mungilnya yang dibalut dengan mini dres berwara putih dengan motif bunga-bunga di pakaiannya. Agnes tampak sempurna dengan pakaiannya yang dipadu padankan dengan liontin emas putih kecilnya yang berbentuk hati, cincin berbentuk bunga mawar, dan di tengah-tengah cincin itu ada berlian yang berkilauan.

            “Terima kasih Aurel, akhirnya kamu datang juga,” kata Agnes dengan senang.

            Aku melepaskan pelukanku, “tentu saja, mana mungkin aku tidak datang ke pesta ulang tahun teman terbaikku?” aku memberikan kado ke Agnes, “ini untukmu. Semoga kamu suka ya?” aku tersenyum.

            “Terima kasih Aurel, sebenarnya kamu tidak perlu repot-repot membelikan aku hadiah seperti ini,” ungkapnya. “Ngomong-ngomong dimana pacarmu? Katanya kamu akan mengajaknya kemari?” tanya Agnes.

            “Maaf ya Agnes, dia sedang ada urusan lain,” sesal ku. “Tapi aku janji, lain kali aku akan mengenalkannya kepada mu.”

            “Iya, tak apa,” kata Agnes. “Oh iya Aurel, kamu harus cobain makanan dan minuman yang ada disana. Aku yakin kamu akan menyukainya,” lanjut Agnes.

            Aku mengangguk, “baiklah, aku kesana dulu ya,” setelah melihat Agnes mengangguk, aku langsung berjalan menuju meja tempat minuman berjejer rapih.
Saat ingin mengambil minuman yang ada di meja tersebut, dengan tidak sengaja aku memegang tangan orang lain yang ingin mengambil minuman juga, “maafkan ak...” kata-kataku terputus setelah melihat wajah orang yang tangannnya tak sengaja ku pegang. “Dave...” desisku heran. Kenapa ia bisa berada disini? Bukankah ia sedang sibuk?
Sebelum Dave mengatakan apa yang sedang terjadi, tiba-tiba datanglah seorang wanita yang merangkul bahunya, “sayang, lama banget sih ambil minumnya,” kata wanita itu.

    Astaga! Aku kaget setengah mati, kalau orang yang sekarang telah merangkul Dave adalah Sinta, sahabatku sendiri! Oh tuhan, yang benar saja, masa Dave selingkuh dengan sahabatku sendiri!?
“Aurel?” Sinta sepertinya baru menyadari keberadaanku disini. Wajahnya terlihat memerah dan panik. “I-ini ti-tidak seperti yang kamu pikirkan,” kata Sinta tergagap, “aku dan Dave tidak...” kata-kata Sinta terputus karena aku sudah lebih dulu menyiram wajahnya dengan minuman yang sedang aku pegang.

    “Aurel! Kamu apa-apaan sih!?” bentak Dave.

    “Kamu itu yang apa-apaan! Ngapain kamu jalan sama dia!? Kamu bilang ke aku kalau kamu lagi sibuk, kok sempet-sempetnya kamu nemenin dia!? Udah gitu make bilang sayang-sayangan lagi!” emosi ku sudah tak terkendali lagi. Nafasku memburu, danaku merasa mataku mulai panas karena kesal.
“Memangnya apa hak kamu melarang Dave untuk jalan sama aku? Lagi pula kamu itu terlalu sibuk dengan kegiatan pemotretanmu, dan kamu jarang sekali memerhatikan Dave!” bentak Sinta.

    “Kamu tanya apa hak aku? Aku pacarnya! Aku punya hak sepenuhnya atas Dave!” bentakku pada Sinta.

    “Tapi mulai detik ini aku bukan pacarmu lagi,” sungguh, kata-kata yang dilontarkan Dave barusan berhasil menghancurkan hatiku dalam hitungan detik. Untuk beberapa saat aku tertegun, otakku masih belum dapat mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

    Karena merasa jadi perhatian orang yang ada di pesta ini, aku segera berlari meninggalkan pesta ini sambil menangis menahan malu.

            Aku menangis sejadi – jadinya di sebelah mobilku. Aku tak percaya, orang selama ini aku cintai dengan setulushatiku, ternyata akan menghianatiku seperti ini. Jika ia berselingkuh dengan wanita lain sih aku tidak akan sesedih ini, tapi wanita yang menjadi selingkuhannya ini adalah sahabatku sendiri!
Sambil menangis terseduh – seduh, aku memasuki mobilku dan meninggalkan tempat sialan ini. Aku sengaja memacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Berharap rasa kesalku bisa hilang karena telah memacu mobilku dengan kecepatan tinggi.

    Saat berbelok ke kanan, tiba – tiba ada anak yang  sedang menyebrang jalan. Dengan cekatan, aku membelokkan mobilku untuk menghindari anak tersebut. Aku melirik kea rah spion, ternyata anak itu baik – baik saja. Syukurlah. Tapi begitu aku mendengar suara klakson yang sangat kencang dan melihat sebuah truk sedang melaju ke arahku, aku tak sempat lagi menghindar.
Aku merasa, dunia sedang bergerak melamban. Bagaimana truk melaju ke arah ku, dan menabrak mobilku, semua terlihat berjalan lambat di mataku. Bahkan saat tabrakan itu terjadi, aku benar – benar merasakan seperti sedang melakukan adegan slow motion.

    Darah dari kepalaku mulai bercucuran dengan derasnya, dan aku merasakan setiap inci dari serpihan kaca yang menancap di kulitku dan kepalaku terasa seperti akan pecah. Perih, sakit, tapi rasanya tak seperih dan sesakit hatiku saat ini.

    Apakah benar? Ini adalah akhir dari perjalanan hidupku? Benarkah aku akan mati dalam keadaan yang menyedihkan ini? Jika iya, mungkin itu akan terasa lebih baik jika dibandingkan harus merasakan sakit hati yang begitu mendalam.

    Penglihatanku mulai kabur, tapi aku masih sempat melihat anak kecil yang hampir aku tabrak itu sedang menunjuk – nunjuk ke arah ku sambil menunjukkan wajah yang panik. Aku tak dapat mendengar apa yang anak kecil itu, tapi tak lama kemudian, banyak orang yang menghampiri mobilku dan membantuku keluar dari sana. Aku memang tak dapat mendengar suara mereka, tapi sepertinya mereka berusaha untuk membuatku tetap terjaga. Tapi sayangnya usaha mereka sepertinya akan gagal, karena aku sudah merasa tak kuat menahan mataku agar tidak terlelap.